Amerika Serikat Blokir Kehadiran Pemimpin Palestina di PBB, Diplomasi Global Retak!

Jakarta — Presiden Palestina Mahmoud Abbas dan sekitar 80 pejabat tinggi Palestina dicabut visanya oleh pemerintah Amerika Serikat menjelang Sidang Umum PBB setelah AS menolak memberikan izin masuk ke New York atas alasan “keamanan nasional” dan kegagalan pihak Palestina mematuhi komitmen dalam perjanjian damai.
Akibatnya, PBB mengizinkan Abbas untuk menyampaikan pidatonya melalui video dalam Sidang Umum, sebagai solusi sementara agar suara Palestina tetap terdengar meski tanpa kehadiran langsung.
Tanggapan Menlu RI Sugiono
Menteri Luar Negeri Republik Indonesia Sugiono menyebut bahwa pencabutan visa ini adalah domain pemerintahan AS, keputusan internal Amerika Serikat.
Sugiono juga menyatakan bahwa isu ini sempat dibahas secara mendesak dalam pertemuan negara-negara Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) di Doha, dimana anggota OKI mendesak agar visa dapat diberikan bagi delegasi Palestina.
Lebih jauh, Sugiono menyunggingkan bahwa tidak ada perdamaian yang abadi tanpa Palestina merdeka, sebuah pernyataan yang menegaskan posisi Indonesia dalam konflik ini.
Reaksi Netizen
Beberapa netizen mengecam tindakan AS sebagai bentuk dualisme standar: pengakuan terhadap PBB dan diplomasi internasional dianggap hanya berlaku jika sejalan dengan kebijakan AS.
Ada yang menyebut langkah ini sebagai “hukuman politik” terhadap Palestina yang ingin memperjuangkan pengakuan negara.
Netizen juga mempertanyakan konsistensi AS yang secara hukum terikat oleh Headquarters Agreement dengan PBB yang seharusnya menjamin visa bagi perwakilan negara untuk menghadiri pertemuan resmi.
Alternatif dan Dampak Bila Abbas Tak Bisa Hadir Langsung di PBB
“Pidato via video” menjadi alternatif utama agar Palestina tetap bisa menyampaikan posisi resminya dalam forum Sidang Umum PBB.
Resolusi PBB mengizinkan Abbas dan pejabat tinggi Palestina lain untuk berpartisipasi dari jauh (virtual) dalam pertemuan-pertemuan selama satu tahun ke depan, jika visa tidak diberikan lagi.
Beberapa negara pendukung Palestina telah menyerukan agar AS mempertimbangkan kembali keputusan visanya, dengan alasan bahwa tindakan tersebut melanggar kewajiban internasional sebagai tuan rumah markas besar PBB.
Kajian situasi ini menunjukkan bahwa pencabutan visa terhadap Presiden Palestina bukan hanya persoalan administratif, tetapi melebar ke isu hukum internasional, legitimasi diplomatik, dan kredibilitas institusi global seperti PBB. Bila pola seperti ini terus berulang, pertanyaan tentang kembali ke resolusi damai dua negara dan posisi PBB sebagai forum multilateral yang adil akan makin mendesak.
