Tayangan Trans7 Dituntut Boikot Karena Dituduh ‘Cela Ulama’ – Kekuatan Santri Bangkit!

Dalam sekejap, jagat media sosial diguncang dengan aksi masif melalui tagar #BoikotTrans7. Sebabnya? Sebuah episode acara “Xpose” di Trans7 dituding keras melecehkan martabat ulama dan kehidupan pesantren, terutama Kyai Sepuh Lirboyo di Kediri. Narasi yang menyebut santri rela “ngesot” demi menyalami kiai serta pemberitaan yang dinilai menghina dunia pesantren memicu kemarahan luas.
Pada cuplikan video yang viral, tampak adegan para santri turun untuk menyalami seorang kiai, disertai suara narator yang mengomentari bahwa seharusnya mereka yang kaya—yakni sang kiai—lah yang memberikan amplop kepada santri. Ungkapan ini dianggap sangat tidak pantas dan menjurus melecehkan simbol agama. Kini, tuntutan agar Trans7 meminta maaf terbuka dan mengoreksi kesalahan internal semakin menguat.
Tokoh dari PKB, termasuk anggota DPR, ikut angkat suara. Mereka mengecam motif di balik narasi tersebut, menyebut bahwa kebebasan pers tidak boleh dipakai untuk merendahkan simbol agama atau tokoh yang dihormati masyarakat. Dalam pernyataan publiknya, mereka mendesak agar media seperti Trans7 melakukan evaluasi menyeluruh terhadap tim kreatif dan redaksinya, agar kejadian serupa tidak berulang dan etika media tetap dijaga.
Tak hanya elite partai, kalangan pesantren dan elemen santri pun bergerak cepat. Organisasi seperti Ansor di Kediri menyatakan siap menggunakan jalur hukum jika Trans7 tidak segera memberi klarifikasi dan permintaan maaf terbuka. Netizen ikut menyerukan protes keras: tangkapan layar cuplikan program itu dibagikan luas beserta komentar pedas yang menyebut konten telah melecehkan derajat para ulama dan santri.
Beragam suara keberatan muncul dari pemilik akun media sosial. Beberapa menyebut bahwa pemberitaan harus dihadirkan secara adil dan proporsional, tak hanya mengekspos sisi negatif kehidupan pesantren tanpa verifikasi. Ada pula yang mengkritik bahwa tayangan televisi seharusnya menjaga keseimbangan dan tidak memicu stereotip negatif terhadap institusi keagamaan.
Di sisi lain, sebagian warga mempertanyakan latar belakang dari tayangan tersebut—apakah memang motif edutainment, sensasi media, atau bahkan kesalahan dalam proses produksi. Tak sedikit yang menyebut bahwa stasiun televisi juga berada dalam tekanan komersial, di mana rating dan sensasi menjadi salah satu alat tarik penonton. Dalam konteks ini, keberadaan narasi provokatif terhadap agama termasuk ranah yang sangat sensitif dan harus ditangani dengan penuh kehati-hatian.
Sementara itu, pihak Trans7 hingga kini belum secara terbuka meminta maaf maupun merilis klarifikasi resmi yang memuaskan publik dan para pihak yang dirugikan. Kepastian langkah korektif dan sikap tanggung jawab media masih ditunggu.
Peristiwa ini menandai titik ketegangan baru antara media dan dunia keagamaan. Isu penghormatan kepada tokoh agama, sensitivitas terhadap nilai-nilai keislaman, serta batasan kebebasan pers kembali menjadi perdebatan sengit. Apalagi, dalam masyarakat plural seperti Indonesia, penyajian tema-tema keagamaan oleh media menjadi ranah rawan kesalahpahaman.
Jika Trans7 bersikukuh tak berubah, besar kemungkinan konflik memanas ke ranah hukum maupun kampanye publik lebih luas lagi. Namun jika ada permintaan maaf dan koreksi substansial di pihak mereka, publik pun bisa menyambutnya sebagai langkah penebusan. Massa santri dan netizen pun berharap agar lembaga media tidak bermain api untuk menarik rating, melainkan menghormati adab agama dan nilai sosial.
Di tengah riuhnya tagar dan aksi boikot ini, pertanyaan utama tetap sama: mampukah media mempertahankan kualitas dan moralitas dalam menyajikan konten keagamaan? Ataukah ambisi sensasi akan terus menggoyahkan etika dan kepercayaan publik? Waktu yang akan menjawabnya.
